Oleh : Dahlan Iskan
INI kafe modern. Tapi menyajikan menu Songkolo Pulu Mandoti. Saya mencicipi menu itu kemarin pagi. Usai senam dansa di Makassar. Di depan kafe itu: BEN’Z Cafe. Dekat lapangan Karebosi. Bersama sebagian peserta Munas Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI) yang lagi kumpul di Makassar.
Itu nasi ketan. Tapi bukan ketan. Nasinya warna merah. Tapi tidak terbuat dari beras merah yang teksturnya karau.
Bahan baku nasi di menu itu: Pulu Mandoti. Beras Mandoti. Beras khusus yang hanya tumbuh di pedalaman Sulsel: Enrekang. Bahkan tidak semua wilayah Enrekang bisa ditanami Pulu Mandoti. Hanya di Salukanan.
Beras ini mahal sekali: satu kilogram Rp 60.000. Di pasar Makassar dijual literan. “Per liter Rp 80.000,” ujar Anto, pedagang beras yang saya hubungi. Sudah lebih 30 tahun Anto jualan Mandoti.
Kesaksian saya: enak sekali. Disajikan dengan kelapa parut mirip serundeng. Juga dengan irisan-kentang-goreng-kering-kecil-kecil, sekecil gagang cabe.
“Lho ini kan nasi ketan?” kata saya.
Pemilik kafe, David, buru-buru klarifikasi: “Ini sehat pak. Lebih sehat dari beras merah,” ujarnya. Ia seperti paham atas kekhawatiran saya: perut masih kosong. Kok disuguhi makan ketan –yang konon bisa bikin sakit maag.
Saya tidak langsung percaya. Saya hubungi banyak pihak. Tapi jarang yang tahu Mandoti. Mereka juga mengaku belum pernah makan nasi Mandoti.
“Universitas Hasanuddin sudah melakukan penelitian. Kandungan Mandoti memang lebih bagus dari beras merah,” ujar Asman SE, Wakil Bupati Enrekang. “Kadar gulanya hampir nol,” tambahnya.
Maka saya habiskan Mandoti itu. Benar-benar enak.
Usai makan Mandoti saya ke Gowa. Ada bakti sosial PSMTI di Gowa: vaksinasi Covid untuk 5.000 orang. Pangdam XIV/Hasanuddin Mayjen TNI Andi Muhamad hadir di situ. Pangdam asli Gowa. Terlihat juga Bupati Gowa Adnan Purichta Ichsan.
Di acara vaksinasi itu, PSMTI menyediakan hadiah dua rumah: diundi. Juga sepeda motor dan banyak lagi.
Di Gowa, yang sudah vaksin kedua memang baru 58 persen –meski yang vaksin pertama sudah 85 persen. Dengan vaksinasi berhadiah ini Gowa bisa mencapai 63 persen. “April nanti sudah bisa 70 persen,” ujar Bupati Adnan.
Adnan masih muda sekali: 36 tahun. Ia sudah terpilih sebagai Bupati Gowa di umur 29 tahun. Sebelum itu pun Adnan sudah anggota DPRD Sulsel dua periode. Sejak umur 23 tahun.
Postur tubuhnya tinggi, tegap. “Saya dulu pemain basket,” ujarnya. Tingginya 180 cm. Gelarnya doktor hukum dari Unhas. Istrinya cantik sekali, 5i: Priska Paramita. Finalis Indonesian Idol 2007. Kini punya dua anak.
Kemarin adalah ultah perkawinannya yang ke-11.
Adnan adalah anak kedua Bupati Gowa yang ia gantikan: Ichsan Yasin Limpo. Ayahnya itu Bupati Gowa dua periode juga. Ichsan menggantikan Syahrul Yasin Limpo, yang adalah kakak kandungnya sendiri. Syahrul juga dua periode menjabat Bupati Gowa. Setelah itu ia menjadi Gubernur Sulsel dua periode –dan kini Menteri Pertanian.
Adnan memang dipersiapkan sejak kecil untuk jadi pejabat. “Sejak SD saya sudah dimasukkan Pramuka. Mencapai segala tingkatan di Pramuka. Sampai ikut Jambore Nasional,” katanya. Lalu diminta aktif di KNPI. Sampai jadi ketua KNPI Sulsel. Begitu lulus S-1 jadi anggota DPRD Sulsel.
Ayahnyalah yang mendorongnya jadi calon bupati –menggantikan sang ayah. Lewat jalur independen. Ia tidak kebagian ”kendaraan” –sudah habis untuk 4 pasang calon dari partai politik. Adnan hanya ditawari posisi calon wakil bupati.
Meski diikuti lima pasang, Adnan menang satu putaran. Baru yang untuk periode kedua Adnan maju lewat partai. “Saya dilamar semua partai,” katanya.
Maka jadilah Adnan calon tunggal. Lawannya, kotak kosong. Ia menang 92 persen.
Sang ayah masih sempat menyaksikan Adnan jadi bupati di periode pertama. Sang ayah lantas meninggal dunia. Di Singapura. Kanker paru. Di usia yang baru 52 tahun.
Pesan terakhir sang ayah: berhentilah merokok. Ia dengarkan sendiri pesan terakhir itu. Adnan pun langsung berhenti merokok. Sampai sekarang.
Dari Gowa saya berkendara ke Parepare. Bersama istri. Kangen ikan bakarnya. Dulu, dua jam sudah bisa sampai Pare-pare. Kini harus tiga jam.
Sambil makan, saya menelepon Wakil Bupati Enrekang. Saya masih penasaran soal Mandoti. Terutama kenapa beras itu diberi nama Mandoti.
“Mandoti itu bahasa Enrekang. Artinya, guna-guna. Atau hipnotis,” ujar Asman, sang wakil bupati.
Mandoti disebut Mandoti karena daya pikatnya. “Kalau dimasak, aroma harumnya tercium sampai jauh,” ujar Asman.
Sayangnya Mandoti tidak bisa dikembangkan. Hanya bisa ditanam di satu kecamatan saja di Enrekang. Itu pun hanya di satu hamparan tanah adat yang luasnya 3.000 hektare.
“Begitu ditanam di luar hamparan itu, hasilnya berubah,” ujar Asman. “Dari hasil penelitian memang ada satu unsur mineral tanah yang hanya ada di situ,” kata Asman.
Hamparan itu bukan sawah. Itu sebuah lereng gunung Latimojong –gunung tertinggi di Sulsel. Lahan itu di ketinggian sekitar 1.000 meter. Tidak ada irigasi teknis. Semuanya ladang tadah hujan.
Uniknya, tanah 3.000 hektare itu milik adat. Digarap bersama dan hasilnya dibagi untuk semua warga adat. Yang bertanggung jawab atas penanaman Mandoti bergantian, sesama warga adat.
Padi Mandoti ini konservatif sekali: 8 bulan baru bisa dipanen. Hampir tiga kali umur padi biasa.
Di luar tanah adat itu warga masih punya tanah pertanian masing-masing. Umumnya ditanami bawang merah.
Enrekang sebenarnya juga penghasil kopi robusta utama di Indonesia. Tapi nasibnya sial: tidak ada yang mengenal kopi Enrekang. Pun Anda. Kopi Enrekang dipasarkan dengan nama Kopi Toraja.
Enrekang pernah ingin merebut nama baik itu. Masih gagal. Mungkin perlu Munas Kopi Mania se-Indonesia –kalau sudah terbentuk.(Dahlan Iskan)
Menu Mandoti – Radar Pekalongan Online - Radar Pekalongan
Read More
No comments:
Post a Comment